Rasisme dalam sepakbola
Satu masalah besar dalam dunia sepakbola ini adalah permasalahan rasisme. Padahal Anggaran Dasar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pun telah mengasaskan, sepak bola bertekad menjadi sarana melunturkan semua prasangka. Apapun itu bentuknya dan salah satu yang dilarang dan akan dilawan adalah masalah Rasisme.
saya begitu tercengang sewaktu tahu bahwa Lazio, sebuah klub sepakbola besar anggota seri A Italia ternyata memiliki suporter yang terkenal sangat rasis. Mereka selalu melakukan penghinaan dan ledekan-ledekan kepada pemain klub lawan yang berkulit hitam. Sehingga untuk menghilangkan sifat ini manajemen klub Lazio mengontrak Marco Liverani, seorang pemain berkulit hitam hanya untuk mengurangi sikap suporternya tersebut. Tetapi, bukan suporternya yang berubah malah sang pemain yang harus angkat kaki karena tidak nyaman dengan perilaku suporternya.
Ternyata Suporter klub Lazio memang sudah lama dikenal sebagai kubu paling rasis di antara seluruh kubu pendukung klub-klub Seri A di Liga Italia. Maklum saja, dulu klub ini adalah klub kecintaan diktator Italia, Benito Mussolini. Tak mengherankan bila pendukung fanatik kesebelasan ini enak saja menghina pemain Lazio yang menurut mereka tak pantas mewakili klub kesayangannya.
Aron Winter, pemain nasional Belanda, adalah pesepak bola kulit hitam lainnya yang terkena tindakan tidak mengenakkan dari suporter Lazio. Ketika pada 1992 Aron Winter datang ke Lazio, ia disambut sebuah spanduk besar yang dengan sangat menghina menyebutnya ''Yahudi Negro''. Para pendukung Lazio ini jelas tak cukup mengenal Winter. Ia sama sekali bukan Yahudi, sebab nama tengahnya adalah Mohammed.
Saya juga masih teringat bagaimana ketika, Samuel Eto’o. pemain Barcelona asal Kamerun menolak untuk meneruskan permainan dalam suatu pertandingan. Hal ini terjadi bukan karena ia cedera atau diganti oleh pemain lain tetapi dikarenakan ia menerima perlakuan yang tidak manusiawi dari supporter klub lawan. Maka menangislah ia sambil keluar lapangan.
Siapa juga yang nggak kenal dengan Frank Rijkaard dan Ruud Gulit. Kedua pemain ini, sewaktu bermain di AC Milan, merupakan pemain sepakbola yang sangat dinantikan aksinya dalam setiap pertandingan. Semua sepakat bahwa kedua pemain inilah yang saat itu menjadi daya tarik bagi sepakbola Italia. Tetapi, apa yang didapat oleh keduanya? Mereka tidak mendapta penghargaan, malah sebaliknya cacian bernada rasisme yang mereka terima. Hingga membuat Arrigo Sacchi, pelatih AC Milan saat itu, kesal dengan apa yang dialami oleh anak asuhnya itu.
Dan yang paling terakhir tentunya kita masih ingat tragedy final piala Dunia 2006 antara Italy dan Perancis. Konflik ini melibatkan Zinedine Zidane dan Marco Materazzi. Saat itu semua penggemar sepakbola pasti terkejut dengan ulah yang dilakukan oleh Zidane terhadap Materazzi. Kasus ini semapt nggak jelas. Namun, menurut Zidane ia telah dihina dengan cacian bernada rasisme yang keluar dari mulut Marco Materazzi.
Yang masalahnya isu rasisme ini juga udah merembet-rembet ke sepakbola dalam negeri. Bangsa kita yang katanya ramah, santun dan pemurah kini udah mulai sok ikut-ikutan ulah fans luar negeri. Padahal seharusnya kita niru itu yang bagus seperti beli tiket kalo nonton, gak ngelempar-lempar, eh ini malah yang gak bener yang diikutin. Pemain seperi Alexander Pulalo, Eli Aiboy, Ortisan Salosa pernah mengalami tindakan pelecehan berbau rasis ini.
Ya, berbicara masalah Rasisme berarti kita berbicara tentang masalah penindasan serta ketidakadilan. Penindasan terhadap martabat dan kehormatan manusia. Fakta berbicara akibat semangat rasisme banyak nyawa yang harus terbuang percuma. Silakan anda tanyakan hal tersebut kepad Fuhler Hitler. Berapa banyak nyawa orang Yahudi yang harus ia bunuh akibat ketidaksukaannya serta pandangan bahwa ras Aria lah yang paling unggul. Dan jangan lupa untuk selalu mengingat apa yang dilakukan para pemimpin Serbia terhadap umat muslim di Bosnia sana. Berapa puluh juta rakyat Bosnia harus kehilangan nyawanya hanya akibat ketidaksukaan mereka terhadap apa yang dipercayai oleh kaum muslim di Bosnia sana. Lo kok jadi kesana ya?
Memang, nggak jelas kapan isu rasisme mulai memasuki serta mengotori dunia sepak bola. Ada yang meyakini kalo isu rasisme mulai terdengar dalam dunia sepakbola sejak Arthur Wharton, pemain kulit hitam profesional pertama, meneken kontrak bersama klub Inggris, Darlington, pada 1889. Sejak saat itu, setiap kali Wharton belaga di kandang lawan, pertandingan nyaris tak pernah sepi dari lontaran-lontaran berbau rasial. (Republika, 27/11/04)
Parahnya, tindakan rasialis dalam sepak bola juga merembet pada perbedaan yang sifatnya politis. Bahkan pada Piala Dunia 1934 di Italia, nyata benar Mussolini mempertontonkan superioritas fasisme atau Hitler (yang merefresentasikan Jerman dengan NAZI-nya). Sepakbola dipolitisir.
Di tahun 1993/1994, sponsor Liga Primer Inggris, Carling, mengadakan survey terhadap para fans liga primer. Hasilnya sungguh mengejutkan; hanya satu persen para penggemar yang mendeskripsikan dirinya tak bermasalah dengan pemain berkulit hitam. Ini menggambarkan masih kuatnya rasisme di kalangan para penggemar sepak bola tradisional.
Tetep lestarinya rasisme lebih karena rendahnya cara berpikir masyarakat. Terutama individu pelakunya. Rendahnya cara berpikir ini boleh jadi terpancing oleh panasnya iklim kompetisi sepak bola yang menjamur di negeri-negeri Eropa. Dengan gaya hidup sekuler-kapitalis, dukungan penuh dari penggemar terhadap tim favoritnya bisa berujung pada tindakan rasisme, bentrokan antar fans, hingga kerusuhan di luar stadion.
Tak heran jika di Eropa, rasisme merupakan masalah besar bagi sepak bola, sama besarnya dengan masalah hooliganisme. Ya, karena kompetisi sepak bola lah yang membidani lahirnya masalah ini. So, selama hajatan sepak bola masih digelar setiap tahunnya dan selama gaya hidup kapitalis sekuler masih dipake, selama itu pula benih-benih rasisme siap tumbuh dan berkembang untuk mencari korban. Ih syereem deh!
Nah, bagi kamu-kamu yang masih berpikiran jernih dan mengaku mencitai sepakbola maka mari kita dukung kampanye yang digulirkan FIFA dengan tajuk Lets kick racism out of football! Yah mari kita tendang sekencang-kencang dan jauh-jauh sikap ini dari dunia sepakbola, bahkan dari kehidupan dunia seutuhnya. Merdeka! Hehehe keterlaluan semangat nih.
Maka dari itu sejumlah aturan diterapkan oleh seluruh negara untuk mengusir hantu Rasisme dari dunia sepakbola. Jumlahnya lumayan gede loh, ambil contoh denda yang dijatuhkan oleh federasi sepakbola Spanyol kepada Real Zaragoza Karena perlakuan rasis suporternya terhadap striker Barcelona Samuel Eto’o. gak tanggung2 dendanya itu senilai 11.000 Dolar As. Kalikan aja ama kurs sekarang. Gak kebayang kalo yang kena klub Indonesia, bisa habis tuh dana APBD (hehehhe….)
Indonesia juga gak mau ketinggalan, dalam kode disiplin PSSI 2008, soal rasis ini masuk dalam pasal 59. Yang dikategorikan rasis adalah melakukan tindakan diskriminatif, meremehkan, melecehkan dengan cara apapun dengan tujuan menyerang atau menjatuhkan nama baik orang terkait dengan pertandingan, warna kulit, bahasa, agama, atau suku. Bila terbukti maka hukumannya sangat berat. Apabila dilakukan pemain hukumannya adalah 5 kali tidak boleh bertanding. Bila dilakukan suporter, bisa dihukum 6 bulan tidak boleh datang ke stadion serta denda Rp 200 juta (ditanggung klub). Bila dilakukan ofisial maka akan didenda paling sedikit Rp 300 juta. Ihhh serem kan tuh denda, makanya jangan coba-coba deh melakukan tindakan Rasisme.
Lalu gimana caranya yah buat menghilangkan sifat Rasis itu? Sebetulnya caranya gampang mari kita kembali ke rumus bahwa semua manusia itu sebenarnya derajatnya sama. Gak ada bangsa yang satu lebih unggul dari bangsa yang lain. Bagi mereka yang menganggap bangsa kulit putih lebih unggul dari bangsa kulit hitam itu sesungguhnya pemikaran yang tidak berdasar. Nggak ada pemikiran ilmiah yang sanggup membuktikan teori tersebut. Ingat kita hidup di dunia modern, jadi jangan percaya lagi yang namanya mitos nenek moyang atau memang dari sononya.
Dulu memang pada tahun 1931 ahli-ahl Amerika pernah membuat suatu ujicoba antara bayi-bayi kulit putih dengan bayi-bayi kulit hitam. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa bayi-bayi kulit putih memiliki keunggulan dibandingkan denga bayi-bayi kulit hitam. Tetapi, setelh diselidiki ternya antara kedua bayi yang dijadikan sample tidak berimbang. Yang bayi kulit putih diberi gizi dan makanan yang cukup sedangkan yang kulitputih tidak. Hehehe mo maen curang ye ini ilmuwan.
Jadi sekali lagi teori-teori rasisme itu bukanlah suatu hal yang ilmiah dan memiliki dasar argumen yang baik. Seandainya dikaitkan denga ilmu pengetahuan itu hanyalah suatu usaha untuk menutupi alasan-alasan yang secara social tidak dapat diterima.
Bicara masalah rasialisme maka kita bicara sejarahnya yang panjang. Masalah Rasialisme telah muncul hampir sama tuanya dengan peradaban manusia dan tidaklah bertambah baik seiring kemajuan jaman. Kitab Suci telah mencatat peristiwa rasialis yang terjadi di Tanah Mesir ribuan tahun yang lalu ketika bangsa Yahudi diperbudak oleh bangsa Mesir, dimana Musa lantas memimpin bangsa Yahudi keluar dari tanah Mesir menuju Israel. Ketika orang mengira bahwa masalah rasialisme telah berkurang di jaman modern seperti sekarang ini, maka mata dunia dibuka oleh banyaknya korban jiwa yang jatuh, sehingga baru disadari bahwa masalah rasialisme belumlah selesai, pun sampai hari ini ketika kita telah menjalani sebuah milenium baru.
Untuk mengetahui asal mula rasialisme, kita harus melihat jauh kebelakang. Pandangan merendahkan bangsa lain mulai tumbuh ketika sistem penghisapan ekonomi melalui perbudakan dimulai. Perbudakan berawal saat, pemerintah dan beberapa pihak mencari tenaga kerja yang murah. Berbagai cara ditempuh seperti menaklukan bangsa lain lalu menjadikan mereka sebagai budak atau membeli dari para pedagang budak. Bangsa yang kalah perang dianggap sebagai bangsa yang inferior (lebih rendah) dan sang pemenang dapat melakukan apa saja terhadap mereka, termasuk mengirim mereka ke arena Gladiator sebagai hiburan.
Bahaya rasialisme baru disadari oleh dunia saat terjadi pembantaian secara sistematis yang dilakukan oleh Nazi terhadap etnis yahudi-eropa. Momen perang dunia II yang meminta korban bangsa Yahudi yang sangat besar. Pembantaian secara besar-besaran oleh Hitler dan Nazi dilakukan dengan cara membangun kamp-kamp konsentrasi. Kamp Konsentrasi tersebut menjadi tempat pembantaian para bangsa Yahudi. Kebencian Nazi terhadap keturunan Yahudi muncul karena keturunan Yahudi dianggap sebagai penyebab kekalahan Jerman pada Perang Dunia I, dan sementara ekonomi Jerman mengalami kesulitan, para keturunan Yahudi tetap sukses memegang peranan ekonomi yang besar di Jerman. Namun alasan ini patut dipertanyakan kembali jika melihat kenyataan bahwa bukan hanya 6 juta orang Yahudi yang mati di tangan Nazi, melainkan juga 5 juta etnik non Aria lainnya seperti Gipsi, kaum Homo seksual, keturunan Asia dan lainnya. Dalam propagandanya Nazi memang kental mengusung isu rasialisme dengan memberi fokus pada keunggulan ras mereka, yaitu ras Aria.
0 komentar:
Posting Komentar