Saking mencintai Liverpool, ratusan ribu fans the reds berencana mengambil alih klub kesayangannya itu dari dua taipan Amerika Serikat, Tom Hicks dan George Gillets. Liverpudlians, sebutan fans Liverpool, membentuk konsorsium untuk menguasai klub terkemuka di Inggris itu. Mereka gerah melihat performa Liverpool yang tak kunjung membaik di bawah kendali Hicks-Gillett, yang dinilai hanya ingin mengambil untung dari klub.
Karena prihatin dengan apa yang dialami tim kebanggaan mereka, Liverpudlians akhirnya mencanangkan rencana besar tersebut. Mereka telah membentuk organisasi baru bernama “Share Liverpool FC”. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menggalang dana dari kalangan suporter untuk membeli klub kesayangan mereka itu. Untuk melakukan buy-out mereka membutuhkan kira-kira 500 juta poundsterling atau sekitar Rp 9,2 triliun.
Dilaporkan BBC, tiga pencetus organisasi ini dikenal sebagai fans setia Liverpool, yakni pengusaha Rogan Taylor, mantan direktur komunikasi di Premier League Phil French, dan pengacara Kevin Jacquiss.
Rogan Taylor mengatakan, sudah saatnya klub-klub dikontrol oleh fans. Hal ini sudah terjadi di Spanyol dan Jerman. “Sekarang saatnya ada solusi yang berbeda tentang kepedulian fans terhadap klub. Dengan memiliki klub, mereka ikut membesarkan klub,” ungkap Taylor seperti dikutip BBC, Kamis (31/1).
“Ribuan fans Liverpool sudah memperlihatkan bentuk ketidakpuasannya dengan apa yang terjadi saat ini. Sejumlah investor kaya banyak yang beralih kepada klub-klub yang baru saja dijual. Tapi fans tahu bahwa pada akhirnya mereka (investor) yang harus membayarnya dengan cara menaikkan harga tiket atau dengan rencana lain,” tambah direktur Football Industry Group di Universitas Liverpool itu.
Untuk memuluskan tujuan tersebut sebuah situs akan segera diluncurkan. Teknis penggalangan dana itu pun akan diumumkan kemudian. Tapi konon masing-masing fans yang tertarik bisa menyumbang minimal 5.000 pounds atau sekitar Rp 92 juta.
Mereka, para suporter Liverpool terinspirasi dengan gerakan yang dilakukan oleh fans Barcelona, yang kemudian menjadi member-share klub raksasa Spanyol itu. Dengan jumlah suporter 100 ribu orang, diharapkan dana yang terkumpul 500 juta poundsterling atau sekitar Rp 9,2 triliun, sehingga mereka bisa membiayai The Reds. Memang, saat ini Liverpool sedang kritis. Sejak diambilalih oleh Gillett-Hicks tahun lalu. Klub yang penuh dengan sejarah tersebut selalu berhadapan dengan masalah. Inilah yang membuat pendukung fanatiknya cemas.
Disudut kota selatan Jakarta, sekelompok anak muda berpakain Baju Oranye mencolok dengan bacaan Gue Anak Jakarta tengah asyik mengobrol. Usia mereka kira-kira 16-17 tahunan. Sesekali terdengar obrolan, “gile Bambang maennya mantab banget” sedang temannya yang satu menimpali, “heheh.. namanya juge Bepe”
Bisa dilihat mereka adalah kumpulan supporter fanatik persija Jakarta, yang sering disebut dengan The Jakmania. Mereka sangat cinta dengan Persija, konon kecintaan mereak lebih besar dari kecintaan mereka kepada pacar sendiri. Hehehe, ini guyon dari seorang teman.
Namun, fanatisme terhadap klub sepakbola tidak hanya terjadi di Jakarta saja, hampir seluruh klub sepakbola di Indonesia memiliki supporter fanatic. Bahkan sampai tim Tarkam aja memiliki penonton fanatik.
Jauh disana (diluar negeri maksudnya) para klub-klub besar juga memiliki supporter fanatik. Klub-klub sekelas Liverpool, Manchester United, Arsenal, AC Milan dan lainnya bisa dipastikan memiliki supporter fanatiknya sendiri.
Bentuk-bentuk fanatsime yang dilakukan oleh suporter sepakbola memang suka membuat orang geleng kepala dan gak percaya. Mereka suka melakukan apa aja demi untuk kepentingan klub yang dibelanya. Bahkan ketika mereka melihat seoarng pemain yang dianggap tidak memiliki semangat juang yang baik kepada timnya, mereka gak akan segan-segan melakukan terror kepad ayang bersangkutan.
Jika mengacu ke Wikipedia, Fanatisme diartikan sebagai sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Alois Nugroho mendefinisikan fanatisme sebagai sebuah antusiasme dan keyakinan seyakin-yakinnya bahwa perspektif sebuah kaum adalah perspektif sentral, dalam arti satu-satunya perspektif yang benar atau satu-satunya perspektif paling benar. Makna “kebenaran”ini sendiri bersifat kaku dan subjektif di mata kalangan fanatik karena perspektif diluar mereka berarti menyimpang, salah dan wajib dienyahkan dari kehidupan masyarakat.
Fanatisme tidak hanya menjangkiti ranah religius saja melainkan sampai pada pemahaman ideologis, contohnya nasionalisme dan komunisme. Alois mengambil contoh pembunuhan Barnett Slepian, seorang doktor pro-aborsi, oleh Charles Kopp yang merupakan aktivis fanatik anti-aborsi pada 23 Oktober 1998. Hal ini membuktikan bahwa fanatisme mempunyai dampak negatif dalam diri seseorang maupun kelompok karena meminggirkan “nalar kritis”untuk sementara waktu. Begitu juga fanatisme menuju ranah sepakbola.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, fanatisme juga berarti kesenangan yang berlebihan (tergila-gila, keranjingan). Sepenggal perjalanan kisah hidup Chairil Anwar adalah salah satu contoh saja. Dia lebih berat membeli buku sastra daripada membeli makanan untuk bertahan hidup, atau obat untuk menyembuhkan penyakit raja singa yang dideritanya. Lihat pula penggemar fanatik grup band Slank yang rela membentuk komunitas, lengkap dengan pengurus dan benderanya setiap distrik, meski tanpa bayaran. Dipastikan, mereka wajib hadir jika grup pujaannya melakukan konser di daerah mereka.
Dalam sepakbola sikap fanatsime bisa diilustrasikan seperti ini:
Saya mempunyai keterikatan emosional dan tanpa kritik terhadap Klub Persikad Depok. Keterikatan itu timbul karena Persikad itu gw banget deh…. Persikad lalu menjadi identifikasi pribadi diri terhadap sesuatu yang diluar sana. Keterikatan itu kemudian menjadi suatu keyakinan bahwa Persikad adalah segalanya. Segala hal diluar Persikad yang bertentangan adalah salah dan gak bener. Keyakinan itulah yang membuat saya bisa mendobrak rintangan-rintangan moral dalam bertindak terhadap musuh-musuh saya, termasuk menghalalkan darah mereka-mereka yang menjadi musuh Persikad. Semua musuh Persikad harus dibasmi dari muka bumi ini.
Kalau kita sudah memiliki sikap seperti ini maka waspadalah. Sesungguhnya sikap fanatisme telah menjangkiti diri kita. Tetapi disisi yang lain sikap fanatis juga bisa menimbulkan hal-hal positif. Suporter Liverpool tadi contohnya. Slogan ‘You’l Never Walk Alone’ tidak hanya menjadi slogan kosong tanpa makna. Kalimat ini sudah tertanam kuat dalam diri suporter The Reds dan para pemainnya. Mereka akan selalu mendukung setiap pemain The Reds yang tampil meskipun itu hanya seorang Emiliano Insua (Pemain muda The Reds). Maka denga begitu akan tercipta perasaan optimis dari suporter kepada pemainnya. Bila sudah begini bukan caci maki yang keluar dari mulut mereka sewaktu melihat pemian muda tampil dan melakukan kesalahan tetapi adalah dukungan dan semangat.
Kita lihat bagaimana suporter The Gunners dengan sabar selalu menyemangati para skuad muda Arsenal yang masih minim pengalaman, baik pada saat berlatih maupun saat pertandingan. Meraka gak lelah memotivasi para pemainnya, hingga itu berbuah manis dan Arsenal menjadi kekuatan baru yang minim bintang terkenal.
Fanatisme di benak suporter Barnsley adalah kemenangan. Saat takdir mempertemukan tim mereka dengan Chelsea dalam semifinal piala FA 2008, mereka tidak langsung mengaku kalah. Sebelum pertandingan dilangsungkan hasil apapun bisa terjadi. Maka sikap fanatisme yang disalurkan menjadi dukungan yang menyemangati tim menjadikan Barnsley sebagi penakluk raksasa.
Selengkapnya...